High School Story

Haii... i'm comeback! ini karya pertamaku yang aku post jadi mohon kritik dan sarannya, ya. karena ini masih yang pertama jadi aku yakin pasti banyak kesalahan. don't be silent readers. hargailah penulisnya.

Happy Reading :)



PART I

Suara hentakan sepatu sneaker hitam putih ini terdengar di koridor kelas yang aku lewati. Sebuah lagu mengalun melalui headset pink yang menggantung di telingaku. Sesekali bibirku bergerak-gerak mengikuti alunan lagu. Dan sesekali juga menyinggungkan senyum untuk setiap orang yang kurasa kukenal.
                Sebuah hentakan keras dari belakang menyepatkan detak jantungku dan sontak kepalaku menoleh ke arah hentakan itu.
                “hai, pagi, Jane.” sapa seseorang yang memberi hentakan tadi atau yah... lebih tepatnya dia mengejutkanku. Dia yang kumaksud ini adalah sahabatku, Nara. Aku mengenalnya sejak masih duduk di bangku kelas VII SMP. Sudah sekitar 5-6 tahun kami berteman kami sering pergi bersama, dari sekedar jalan-jalan, menonton film, dan belanja. Dia juga sering menginap di rumahku dan begitu juga sebaliknya. Orang tua kami juga sangat dekat karena seringnya kami main kerumah satu sama lain.
                “suka ya, bikin orang jantungan” tegasku sambil mengelus dada. Nara hanya meringis.
                “oh ya, Mrs. Jane, PR Bahasa Inggris mu, sudahkah siap?” tanyanya dengan gaya bicaranya yang tidak jelas itu.
                “tentu saja, Prof. Nara. Ah, Arkan gimana?...”Nara mem-pout kan bibirnya dan melepaskan rangkulannya dipundakku. “...kabar buruk, Ra?”sambungku. Nara mengangguk lesu.
                “dia... punya baru”mataku membulat.
                “pastilah, cowok kaya gitu mana tahan jomblo”celaku.
                “Jane, gue kapan? Gue kapan bisa bareng dia?”tanyanya dengan wajah kecewa.
                “ya, sabar aja. Lo musti berhenti suka sama dia, Ra. Kalau emang dia cowok yang punya hati, seenggaknya dia bisa ngehargain perasaan lo. Bukannya cuman bisa manas-manasin lo aja. Gak perlu mertahanin cowok kek gitu” jelasku panjang lebar.
                “dia itu beda, Jane. Gimana gue bisa berhenti suka sama dia?”pekik Nara.
                “beda apanya? Dia itu jelas-jelas cowok gak jelas, playboy cap buaya, dan manusia berhati es. Bedanya, dia gila, gak waras”tanganku memegang lengan Nara dan mengguncangkan tubuhnya. Nara menatapku tajam.
                “Jane, lo beneran sahabat gue? Kalo lo beneran sahabat gue, kenapa lo gak ngerti perasaan gue, sih? Sahabat lo kek gini seharusnya di hibur atau di kasih solusi kek. Kenapa malah di ceramahin panjang lebar?” matanya memerah, tangannya membanting tanganku yang memegangi lengannya. Nara meninggalkanku. Dia terisak, terlihat dari pundaknya yang naik turun.
                Aku terpaku di tempatku. Masih heran dengan apa yang terjadi.
                “gue salah, ya? Gue keterlaluan banget, ya?”tanyaku pada diriku sendiri.
                Nara memang orangnya mudah marah, jadi aku harus ekstra sabar menghadapinya. Tapi, jujur saja, aku orangnya juga mudah marah. Tak jarang kami bertengkar karena hal-hal sepele. Kami bahkan pernah tidak saling bicara selam 3 hari. Tapi karena itulah, aku dan Nara menjadi teman yang baik.
                Aku berlari mengikuti Nara dam terus memanggil namanya, dia tetap tidak mau menoleh. Saat sudah sampai di kelas aku segera duduk di sampingnya.
                “Ra, lo beneran marah?...” Nara memalingkan wajahnya.
                “...wah, serius nih anak” gumamku.
                Galang – ketua kelasku – menoel bahuku. Dagunya menunjuk ke arah Nara dan alisnya sedikit terangkat.
                “seperti biasa”balasku setengah berbisik. Galang terkikik.
                Tepat saat itu juga wali kelasku datang. Sebentar lagi dlaam waktu 2 jam pelajaran kelasku akan berasa seperti neraka. Apalagi kalau bukan karena pelajaran Ma-te-ma-ti-ka. Pelajaran yang paling aku benci. Aku hanya berharap dalam waktu 1 bulan yang mendekati Ujian Nasional aku bisa menguasai Matematika. Mungkin itu mustahil, untuk otak yang lambat sepertiku ini. Bahkan memahami 1 rumus saja sulit. Kalaupun guru memberi soal, aku pasti akan mencontek  Nara. Lagipula Nara juga tidak pernah keberatan. Tapi sekarang ini, bisa apa aku jika dia masih marah? Itulah hal tersulit saat Nara sedang marah denganku. Matematika, apa yang harus kulakukan padamu?. Aku hanya heran, angka-angka itu yang entah bagiku seperti bahasa planet mana. Bagaimana Nara bisa memahaminya?
                CLETUUKK...
                Sebuah kapur mendarat di kepalaku.
“awhh...” ringisku.
“Pffftttt... rasain, tuh!”ejek Galang
“Jane! Melamun saja, cepat kerjakan!” Perintah bu Indah, wali kelasku sekaligus guru Matematikaku.
“hah? Ngerjain apa, bu? Kan gak ada PR”aku melongo tidak tahu apa yang terjadi.
“ngapain aja kamu tadi? Ya ngerjain soal di sini, lhah!”bentak bu Indah sambil menunjuk sebuah soal yang tertera pada papan tulis.

Wah, celaka!. Apa yang harus kulakukan? Senam jantung senam jantung. Aku hanya berharap detik ini juga aku bisa menghilang dari tempat ini. Lebih baik di hukum untuk berdiri di depan kelas daripada di suruh untuk mengerjakan soal Matematika.
Aku berdiri dan menuju ke arah papan tulis dengan langkah ragu. Aku menggigit bibir bagian bawahku. ‘ah, gue lari aja!’ batinku ‘eh, jangan, percuma juga aku lari. Pasti bakal kena masalah ujung-ujungnya di BP. Mmm... pura-pura pingsan? Nggak mungkin badan aja masih sehat bugar gini gimana mau akting pingsan, pasti gak mirip. Aduuh .. gue gimana, dong?’batinku sambil menggenggam keras rokku selututku ini.
Saat tiba di depan kelas. Tiba-tiba Nara berdiri dari tempat duduknya dan itu membuat bu Indah mendongakkan kepalanya
“ada apa Nara?”tanya bu Indah.
“saya bisa mengerjakan, bu” jawabnya denga percaya diri.
“oh, silahkan. Jane, kamu boleh duduk”perintah bu Indah.
Selamaatt... akhirnya aku bisa bernapas lega dan membuang jauh-jauh pikiran sesatku tadi. Tapi, kenapa Nara melakukan itu? Apa dia membantuku? Tapi, kan, dia sedang marah.

To Be Continued...

Gimana? bagus gak? jangan lupa kritik dan sarannya...

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer